Jumat, 13 Juli 2018

By 
Mujiburrahman Al-Markazy

Siang itu, Dzulqa'da 6 tahun setelah yang mulia Nabi saw berhijrah. Serombongan kaum muslimin yang diamiri, dipimpin langsung oleh Baginda Nabi saw., untuk melakukan umroh. Kecintaan, kerinduan, keharuan yang dalam telah mengharu-biru didalam hati para pejuang itu. Kecintaan dan kerinduan kepada kampung halaman tercinta, tempat tersuci sepanjang zaman Makkah Al-Mukarramah ditambah dengan kenangan terindah yang pernah terukir di kampung halaman itu. Kerinduan kepada keluarga besar yang berbeda di kota itu. Sudah lama tidak bertatap muka karena keadaan ini dan itu tidak mengizinkan sehingga belum semua keluarga dibawa ke kampung hijrah Madinah Al-Munawwarah.

Desas-desus mengenai rencana keberangkatan jamaah umroh itu, telah tercium oleh kaum kafir dan munafik. Mereka telah buat rencana 'besar' untuk menggagalkan jamaah umroh itu. Seluruh tokoh politik dan militer telah mereka undang agar memikirkan rencana penggagalan jamaah umroh yang akan tiba di Makkah. Bukan hanya para komandan dan petinggi perang, pasukan perangpun telah dikerahkan untuk berjaga-jaga, kalau jamaah umroh itu sampai paksa untuk masuk. Nyawa, harta dan harga diri telah mereka siap korbankan demi penggagalan jamaah itu.

Sang Amir yang begitu bijaksana, Rasulullah saw., telah mengutus seseorang untuk mencari tahu bagaimana kondisi terkini sekitar Ka'bah. Saat itu, rombongan umroh telah tiba di perkampungan Dzulhulaifah rencananya sambil jamaah umroh itu bergerak mereka akan menunggu informasi dari sang utusan itu, informasi akan didapat ketika berjumpa nanti di Kampung 'Usfan.

Informasi real telah didapat, A1, bahwa pasukan tempur telah disiapkan untuk menghalau dan menggagalkan kedatangan mereka. Bisa beberapa kemungkinan, terobos paksa, mundur alias tidak umroh dulu atau layani perang sampai titik darah penghabisan. Sang Amir saw., mengajak semua sahabatnya tanpa terkecuali untuk mendudukan masalah ini dalam sebuah majelis musyawarah. Wahyu senantiasa tersambung dengan beliau. Tapi, beliau tidak serta-merta memutuskan apa yang harus diambil. Padahal ketaatan para sahabat r.hum tidak ada yang sangsikan.

Berbagai pendapat telah bermunculan dalam musyawarah itu. Ada yang mengusulkan, "Karena pasukan pendukung kaum kafirin Makkah adalah orang dari luar Makkah, maka sebaiknya kita gempur semua rumah orang yang berada di luar Makkah itu. Sehingga, ketika mereka mendengar rumah mereka terancam, mereka akan berhamburan keluar untuk menyelamatkan rumah-rumah mereka. Setelah itu kita gempur dengan pasukan inti habis-habisan." Sayyidina Abu Bakar ra., mengusulkan, Ya Rasulullah, engkau hadir di sini untuk ziarah ke Baitullah, bukan untuk berperang. Sebaiknya, kita pergi saja dengan damai ke sana. Tapi, jika mereka menghalangi. Kita lawan. Jika tidak, kita tidak harus berperang." Rasulullah saw., condong dengan usulan sahabat baiknya itu.

Keputusannya, perjalanan dilanjutkan sampai memasuki kota Makkah. Walaupun, saat itu adalah hanya jamaah umroh tapi tidak heran kalau mereka berjalan dengan keadaan siap untuk membela diri. Senjata dan persiapan perang selalu bersama. Ini zaman perang. Setiap saat nyawa terancam. Tibalah rombongan di dekat sumur Hudaibiyah. Tempat dekat Makkah, sekarang letaknya antara Makkah dan Jeddah.

Ketika itu, datanglah seorang yang masih belum memeluk Islam tapi cinta dan simpati kepada Islam, Budail bin Warqa dari Kabilah Khuza'ah, Kabilah yang pro kepada kaum Muslimin. Diapun menyampaikan informasi yang sama tadi bahwa, "Sepasukan besar telah disiapkan untuk menyerang kalian. Wahai Muhammad, orang Quraisy tidak mengizinkan kamu masuk, kamu diblack list, mereka akan siap berperang jika kamu mendesak masuk".

Rasulullah saw., menyampaikan, "Kami datang ke sini bukan untuk berperang, tujuan kami hanya untuk umroh. Orang-orang Quraisy itu, senantiasa ingin bertempur. Sebentar-sebentar bertempur. Itu sangat merugikan dan akan menghancurkan mereka sendiri, Aku lebih suka berdamai. Kalau mereka mau sebaiknya kita buat perjanjian bahwa kami tidak akan menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kami. Jika mereka tidak mau menerima usul ini, Wallahi Demi Dia yang nyawaku berada dalam genggaman-Nya, aku akan gempur mereka terus menerus sampai Allah menangkan kami atau leher kami harus tertebas."

ALLAHU AKBAR! Inilah jiwa kelemah-lembutan Rasulullah saw, yang tersohor itu. Senantiasa ingin berdamai tapi jika upaya damai dengan perjanjian walaupun berat sebelah nanti dibuat, itu tidak mengapa. Tapi, jika segala upaya damai itu tidak diindahkan, Wallahi Rasulullah saw akan bertempur terus hingga Allah menetapkan siapa yang keluar sebagai pemenang. ALLAHU AKBAR!. Budailpun mengangguk, "Baiklah, aku akan menyampaikan maksud kalian kepada orang-orang Quraisy itu." Iapun berlalu.

Bersambung...

==================
Bahan Bacaan:


Al-Kandahlawi, Zakariyah. 2011. Kitab Hikayat Para Sahabat. Bandung. Pustaka Ramadhan